Setelah Guru, Kini Penjual Cobek yang Gugat UU Perlindungan Anak

Jakarta - Undang-undang (UU) Perlindungan Anak dinilai 'memanjakan' anak sehingga guru bisa dikriminalisasi ketika tegas terhadap siswanya. Kini, penjual cobek juga merasakan hal sama dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Untuk gugatan pertama, guru menggugat Pasal 9 ayat 1a UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal itu disebutkan:

Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama perserta didik dan/atau pihak lain.

Nah, kata 'kekerasan' dinilai pasal karet dan multitafsir sebab bisa menjerat guru yang sedang mendisiplinkan siswanya yang bertujuan mendidik siswa itu. Tidak ada definisi yang jelas apa yang dimaksud dengan 'kekerasan' dalam pasal itu sehingga aparat penegak hukum bisa menafsirkan tanpa acuan.

"Bagi para pemohon sebagai seorang pendidik, ketika sedang melakukan penegakan kedisiplinan dengan cara pemberian punishment menjadi tidak wajar untuk dilakukan saat ini dengan alasan melanggar hak asasi manusia. Pemberlakukan punishment memang merupakan metode klasik dalam mendidik siswa ketika guru menjewer atau pun memukul siswa. Namun saat ini, orang tua bisa jadi akan melaporkannya sebagai sebuah bentuk kekerasan," ujar tim kuasa hukum guru, M Asrun.
Padahal, guru dalam tugasnya dilindungi Pasal 14 UU Guru dan Dosen yang menyatakan:

Dalam melaksanakan tugas, guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan penghargaan dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu, pemohon meminta UU Perlindungan Anak diberikan tafsir yang jelas, tidak karet.

"Tidak mencakup tindakan guru dan tenaga kependidikan yang sungguh-sungguh memberikan sanksi dan atau hukuman yang bersifat mendidik untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundangan," papar Asrun dalam permohonannya
Setelah guru, kini giliran Tajudin si penjual cobek yang menggugat UU Perlindungan Anak ke MK. Pangkalnya yaitu Pasal 76I UU No 35 Tahun 2014 menyatakan:

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak
Pasal di atas tidak menjelaskan definisi yang tegas, apa yang dimaksud dengan 'eksploitasi' sehingga menjadi pasal karet. Tafsir 'eksploitasi' yang tidak baku membuat Tajudin harus meringkuk di penjara selama 9 bulan lamanya. Tajudin dinilai mengeksploitasi anak--yang padahal keponakannya sendiri-- dengan menjual cobek, sesuai pemahaman polisi dan jaksa.

Pembelaan diri Tajudin bila ia malah membantu keponakannya itu ditolak aparat. Di mana keluarga besarnya sangat kekurangan sehingga harus menyambung hidup mencari nafkah, meski statusnya masih anak-anak.

Akhirnya, Tajudin dibebaskan PN Tangerang pada pertengahan Januari 2017. Tapi jaksa ngotot dengan pendiriannya dan mengajukan kasasi. Tajudin pun tak tinggal diam dan mengajukan uji materi pasal terkait ke MK.
Tajudin menilai pasal yang mengantarkannya ke penjara itu tidak konstitusional dan melanggar UUD 1945. Tajudin tak ingin jatuh Tajudin-Tajudin lain, orang memberikan bantuan tapi dituduh mengeksplotasi. 9 Hakim kontitusi diminta memberi batasan yang tegas makna 'eksplotasi' itu.

"Kami akan mendaftar ke MK pada hari ini pukul 14.00 WIB," kata kuasa hukum Tajudin dari LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie kepada detikcom, Jumat (26/5/2017).
(asp/dha)
Sumber :https://news.detik.com/berita/d-3511843/setelah-guru-kini-penjual-cobek-yang-gugat-uu-perlindungan-anak

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Setelah Guru, Kini Penjual Cobek yang Gugat UU Perlindungan Anak"

Posting Komentar