Berbagai Peraturan Penyadapan
Penyadapan, sebuah instrumen penting dalam penegakan hukum dan menjaga keamanan negara. Sayang, penyadapan masih menjadi isu pelik di Indonesia. Alih-alih diatur dalam satu payung hukum yang komprehensif, ketentuannya justru tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Akibatnya soal penyadapan ini, sering menjadi perdebatan, menimbulkan ketidakjelasan dan potensi tumpang tindih interpretasi, baik bagi aparat penegak hukum maupun bagi masyarakat. Penting untuk digarisbawahi, jika tindakan penyadapan dilakukan tanpa mematuhi prosedur dan persyaratan yang berlaku, terutama yang melibatkan peran operator telekomunikasi, bukan tidak mungkin hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum serius. Hal ini menegaskan betapa mendesaknya kebutuhan akan regulasi yang lebih terpadu, jelas, dan akuntabel untuk menjamin kepastian hukum serta mencegah penyalahgunaan wewenang dalam praktik penyadapan di Indonesia.
Pandangan KPK
Kompleksitas aturan penyadapan ini tentu saja mengundang tanggapan dari berbagai pihak, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, sempat menyoroti bagaimana aturan yang ada terkadang berbenturan dengan cara kerja KPK selama ini. Sebagai contoh, KPK seringkali sudah melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan awal untuk mencari bukti permulaan. Prosedur ini pun diaudit berkala oleh Dewan Pengawas. Jadi, kalau ada pembatasan yang mengharuskan penyadapan hanya boleh dilakukan di tahap penyidikan, hal itu bisa saja menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi.
Pandangan Kejaksaan Agung
Tentang penyadapan, Kejaksaan Agung (Kejagung) justru sudah mengambil langkah soal penyadapan. Melalui Jaksa Agung Muda Intelijen, Kejagung belum lama ini menandatangani kerja sama dengan beberapa operator telekomunikasi. Inti kerja sama ini adalah pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi demi penegakan hukum, termasuk pemasangan perangkat penyadapan dan penyediaan rekaman telekomunikasi. Kewenangan Kejagung ini dilandasi oleh Pasal 30B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang memang berkaitan dengan wewenang kejaksaan di bidang intelijen penegakan hukum. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Reda Manthovani, menjelaskan bahwa inti dari fungsi intelijen kejaksaan adalah pengumpulan data dan informasi untuk dianalisis dan dipakai sesuai kebutuhan organisasi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, juga menegaskan kalau penyadapan yang dilakukan Kejagung murni untuk konteks penegakan hukum, bukan untuk melanggar privasi publik. Meski begitu, langkah Kejagung ini tetap menuai kritik dari beberapa pihak, terutama terkait potensi ancaman terhadap hak privasi warga negara yang sudah dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Berbagai Peraturan
Faktanya, ketentuan mengenai penyadapan memang sudah tersebar di banyak undang-undang di Indonesia. Sebuah laporan penelitian oleh Puteri Hikmawati dari Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI mengungkapkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah pelopor dalam mengatur penyadapan sebagai bagian dari proses penyidikan khusus. Kedua UU ini mengatur penyadapan maksimal 30 hari jika ada dugaan kuat terkait tindak pidana narkotika.
Selain itu, kita juga bisa menemukan aturan penyadapan di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)). Di sini, intersepsi atau penyadapan didefinisikan sebagai kegiatan mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik. Tak ketinggalan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara juga memberikan kewenangan penyadapan untuk kepentingan intelijen kepada Badan Intelijen Negara (BIN).
Hal yang menarik adalah bagaimana tata cara dan ketentuan izin penyadapan ini bisa berbeda-beda di setiap undang-undang. Ada yang secara jelas mensyaratkan izin terlebih dahulu, ada juga yang tidak menyebutkannya. Sebagai contoh, menurut UU Psikotropika, penyadapan bisa dilakukan atas perintah tertulis Kapolri. Sementara itu, UU Telekomunikasi mengatur penyadapan bisa dilakukan berdasarkan permintaan tertulis Jaksa Agung dan/atau Kapolri untuk tindak pidana tertentu. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mensyaratkan penyadapan harus atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Lalu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur penyadapan dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Terakhir, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan penyadapan bisa dilakukan berdasarkan permintaan Komisi Yudisial.
Dengan demikian, jelas sekali bahwa pengaturan penyadapan di Indonesia ini masih terpencar-pencar dan belum terintegrasi. Kondisi ini menimbulkan tantangan besar dalam upaya penegakan hukum yang efektif, sekaligus menjaga hak privasi warga negara.
Ke depannya, pertanyaan besar yang masih menggantung adalah apakah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru nantinya akan membahas tentang penyadapan? Bagaimana KUHAP Baru nantinya akan mengatur? Dan yang terpenting, apakah KUHAP Baru akan menjadi satu payung hukum yang menghimpun berbagai aturan penyadapan yang masih berserak ini, demi menciptakan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih baik? Kita tunggu saja.
*) Halimah Humayrah Tuanaya, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Pamulang; Diolah dari berbagai sumber.
0 Response to "Berbagai Peraturan Penyadapan"
Posting Komentar