Tiga Tahun Pengesahan, UU TPKS Mulai Diterapkan Aparat Penegak Hukum
JAKARTA, TBNews.id – Tiga tahun sejak disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), penerapan hukum ini mulai menunjukkan progres menggembirakan di meja hijau. Temuan dari penelitian terbaru yang dilakukan LBH Keadilan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum, terutama jaksa dan hakim, semakin berani menggunakan UU TPKS dalam proses penuntutan dan pengambilan putusan.
Penelitian bertajuk "Implementasi UU TPKS Pasca Tiga Tahun Penerapan" menemukan bahwa dari 11 putusan pengadilan yang dikaji, sebanyak 8 putusan telah menggunakan UU TPKS secara langsung dalam dakwaan dan pertimbangan hakim. Ini menunjukkan tren positif terhadap penerapan hukum yang berpihak pada korban.
Namun demikian, masih terdapat tiga putusan yang belum menerapkan UU TPKS, menandakan adanya hambatan dalam implementasinya. Salah satunya adalah kasus perkosaan terhadap penyandang disabilitas mental (Putusan No. 874/Pid.B/2022/PN.Sda), yang masih menggunakan Pasal 286 KUHP. Penggunaan pasal lama ini dinilai tidak mengakomodasi hak-hak korban secara maksimal seperti yang diamanatkan UU TPKS.
Hal serupa terlihat dalam kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) seperti pada Putusan No. 169/Pid.Sus/2023/PN.Tng dan No. 71/Pid.Sus/2023/PN.Pdl. Kedua kasus tersebut tetap menggunakan UU ITE, padahal seharusnya dapat dikaitkan dengan UU TPKS untuk menjamin perlindungan komprehensif bagi korban.
Di sisi lain, sejumlah kasus menunjukkan kemajuan signifikan. Misalnya, pada perkara No. 18/Pid.B/2023/PN.Ffk, dakwaan eksploitasi seksual telah menggunakan Pasal 12 UU TPKS secara tepat. Begitu pula dengan Putusan No. 148/Pid.Sus/2023/PN.Smn dan Putusan kasasi No. 7346 K/PID.SUS/2024, yang menjadi preseden penting karena mengabulkan restitusi korban.
Putusan lainnya, seperti kasus kekerasan seksual oleh penyandang disabilitas (PN Mataram), pelecehan seksual terhadap anak (No. 296/Pid.Sus/2023/PN.Yyk), hingga perbuatan cabul oleh guru ngaji (No. 138/Pid.Sus/2023/PN.Pdl), turut memperlihatkan bahwa UU TPKS mampu menjangkau beragam bentuk kekerasan seksual serta profil pelaku.
Namun, implementasi UU TPKS tak hanya soal keberanian jaksa dan hakim. Regulasi turunan seperti Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Bantuan Korban dan RPP tentang Pencegahan, Penanganan, dan Pemulihan masih tertunda pengesahannya. Hal ini dinilai memperlambat upaya pemulihan menyeluruh bagi korban.
Peneliti utama, Halimah Humayrah Tuanaya, yang juga dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak di Fakultas Hukum Universitas Pamulang, merekomendasikan agar pemerintah segera mengesahkan RPP tersebut. Selain itu, penunjukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pengelola Dana Bantuan Korban (DBK) juga diusulkan agar pengelolaan bantuan lebih terstruktur dan tepat sasaran.
Penelitian ini juga menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan bagi aparat penegak hukum (APH), termasuk polisi, jaksa, dan hakim, agar lebih memahami UU TPKS secara utuh, termasuk konsep hukum acara khusus dan prinsip berperspektif korban.
Kesimpulannya, UU TPKS mulai digunakan sebagai dasar hukum utama dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Namun agar perlindungan terhadap korban bisa maksimal, diperlukan konsistensi penerapan oleh aparat hukum serta dukungan regulasi pelaksana yang memadai. (Red)
Sumber: https://www.beritasatoe.com/
0 Response to "Tiga Tahun Pengesahan, UU TPKS Mulai Diterapkan Aparat Penegak Hukum"
Posting Komentar