Unsur “Kesalahan” Dalam UU Narkotika


Rumusan Undang-Undang NO. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak memuat unsur “dengan maksud” atau “dengan sengaja” seringkali dimaknai keliru sebagai bagian dari aturan perundang-undangan yang menganut konsep pertanggungjawaban mutlak atau “strict liability”.

Ditinjau dari sejarahnya, konsep “strict liability” lahir dari pemikiran para ahli hukum Anglo-Amerika (common law countries) yang dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana yang melanggar kesejahteraan masyarakat (public welfare offenses).  Alasan mengapa konsep ini penting untuk diadopsi adalah:
“The reason usually given for strict-liability crimes is that in some areas of conduct it is difficult to obtain convictions if the prosecutions must prove fault” (Lihat Wayne R.LaFave & Austin W.Scott,Jr, Criminal Law – Hornbook Series,1972, West Publishing Co, hal. 218 (Laibility Without Fault: Strict Liability – Vicarious Liability – Enterprise Liability.

Dalam hukum pidana dikenal asas “actus non facit reum, nisi mens sit rea”, atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam prakteknya, penerapan asas tersebut secara kaku tentu akan menyulitkan proses pembuktian dalam beberapa tindak pidana. Konsep "strict liability" dalam hukum Anglo-Amerika mengajarkan adanya pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan ditujukan kepada tindak pidana yang tidak membutuhkan "mens rea" (keadaan batiniah yang salah). Mengingat dampak yang mungkin timbul dari penggunaan konsep pertanggungjawaban ini, oleh karena itulah konsep  "strict liability"  hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan (regulatory offenses) yang hanya mengancamkan pidana denda, dan terkait dengan pelanggaran kesejahteraan masyarakat atau "public welfare offenses". 

Hukum pidana sebagai hukum yang menjunjung tinggi asas legalitas, tentunya senantiasa merujuk hukum tertulis (undang-undang) sebagai sumber hukumnya. Oleh karena itulah setiap perbuatan yang dilarang dan bagaimana cara mempertanggungjawabkannya akan ditentukan secara eksplisit dalam undang-undang. Demikian pula halnya dengan pengaturan konsep pertanggungjawaban mutlak atau "strict liability", tindak pidana yang dapat dibebani pertanggungjawaban mutlak harus terlebih dahulu diatur dalam aturan perundang-undangan. Salah satu contoh aturan perundang-undangan yang telah mengnut konsep pertanggungjawaban ini adalah UU No.  32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 88 undang-undang ini mengatur secara tegas penggunaan konsep pertanggungjawaban mutlak:

Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
 Penjelasan Pasal 88
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan narkotika tidak hanya dilakukan dengan cara mencocokkan perbuatan terdakwa dengan unsur delik dalam undang-undang, tetapi hakim juga harus berpatokan pada syarat pemidanaan yang juga telah ditentukan secara rigid dalam undang-undang. Syarat pemidanaan terbagi atas dua yaitu; tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Unsur dari tindak pidana adalah perbuatan yang terdiri dari mencocoki rumusan delik, melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar. Sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana adalah pembuat yang terdiri dari mampu bertanggungjawab, kesalahan, dan tidak ada alasan pemaaf. Penjatuhan pidana atau hukuman oleh Hakim itu bersifat objektif dan subjektif. Objektifitas berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan sedangkan subjektifitas adalah kewenangan yang dimiliki oleh seorang Hakim dalam menjatukan suatu putusan pemidanaan. Penjatuhan pidana yang bersifat subjektifitas juga harus mengandung sifat objektifitas. 

Berdasarkan uraian di atas, pelanggaran atas UU Narkotika tidak dibebani pertanggungjawaban mutlak, melainkan harus dibuktikan pula unsur kesalahan dari diri pelakunya. 

Hakim seyogyanya tetap memegang teguh asas praduga tak bersalah dan meghukum orang setelah menyingkirkan setiap keragu-raguan yang ada padanya berdasarkan setiap fakta yang terungkap di persidangan. Kita tentu masih mengingat putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 1614 K /Pid.Sus/2012 pada tanggal 22 Oktober 2012 lalu yang mengungkap rekayasa kasus narkotika oleh penyidik kepolisian. Melalui putusannya, Mahkamah Agung menyatakan Rudi Santoso tidak bersalah. Melalui tragedi hukum tersebut, polisi, jaksa, hakim, dituntut untuk lebih bersungguh-sungguh dalam memeriksa suatu tindak pidana agar selanjutnya tidak ada lagi orang yang harus menanggung beban pemidanaan atas sesuatu yang tidak dia lakukan.


HALIMAH HUMAYRAH TUANAYA– Dosen; Advokat LBH Keadilan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Unsur “Kesalahan” Dalam UU Narkotika"

Posting Komentar