Perintah Perlindungan dalam KDRT
Arumi memperoleh perlindungan dari LPSK bukan dengan jalan mudah. Sebaliknya
Arumi memperolehnya dengan jalan berliku. Arumi dan kuasa hukumnya mengajukan
permohonan ke LPSK. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menerima
pengaduan Arumi juga mengajukan permohonan perlindungan bagi Arumi ke LPSK.
Sementara Unit PPA Polda Maetro Jaya, tempat dimana Arumi melaporkan ibunya,
memberikan saran agar LPSK memberikan perindungan kepada Arumi. Tidak hanya
itu, Arumi dan kuasa hukumnya atas permintaan LPSK meminta penetapan dari
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang kemudian melalui Surat Penetapan
Nomor 01/Pen.Perl.Krbl2011.PN Jaksel, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
memberikan penetapan perlindungan kepada Arumi.
Bisa dibanyangkan korban yang notabene “lemah” harus
mendatangai empat institusi untuk mendapatkan perlindungan; LBH APIK Jakarta sebagai
kuasa hukumnya, KPAI, Kepolisian dan LPSK.
Apa yang dialami Arumi sejalan dengan temuan hasil
pemantauan implementasi UU PKDRT oleh lembaga pendamping korban (Rifka Annisa
Yogyakarta, LBH APIK Jakarta: 2009) yang menemukan bahwa mayoritas aparat
kepolisian tidak memahami prosedur memperoleh penetapan perintah perlindungan
(PP). Oleh karena itu dalam pemantauan tersebut juga ditemukan bahwa belum
pernah ada kepolisian yang memberikan perlindungan (sementara) dan mengajukan
permohonan PP bagi korban KDRT ke Pengadilan. Jika saja aparat kepolisian
memahami prosedur perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT, maka dipastikan
Arumi tidak harus melalui jalan berliku untuk memperoleh perlindungan.
PP Sebagai Hak Korban
Perlindungan terhadap korban (dan saksi) merupakan hak bagi setiap korban (dan saksi) tindak pidana (Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan
Korban). Tak terkecuali korban (dan saksi) dalam tindak pidana KDRT. Selain ketentuan umum yang diatur
dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban KDRT mempunyai aturan khusus
sebagaimana diatur dalam Pasal 16-38 UU PKDRT.
Meski perlindungan korban KDRT merupakan hak yang
sudah dijamin UU PKDRT, namun sifatnya masih normatif, belum implementatif dan
teknis operasional yang mudah dipahami baik aparat penegak hukum maupun korban
KDRT itu sendiri. Hal inilah yang mengakibatkan aparat kepolisian belum pernah
memberikan perlindungan (sementara) dan mengajukan permohonan PP bagi korban
KDRT ke Pengadilan sebagaimana tergambar dalam hasil temuan pemantauan lembaga
pendamping korban.
Agar ketentuan mengenai perlindungan korban KDRT menjadi implementatif dan
menjadi teknis operasional, maka dibutuhkan standarisasi mengenai penerapan PP
Korban KDRT. Standarisasi itu hendaknya dijadikan peraturan bersama Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua
Mahkamah Agung.
Memahami PP
Perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban
yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan (Pasal 1 angka 4 UU PKDRT). Sementara yang disebut korban adalah
orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga. (Pasal 1 angka 3)
Dalam UU PKDRT
dikenal dua perlindungan, (1) Perlindungan Sementara, dan (2) PP. Perlindungan
sementara adalah perlindungan yang
langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain,
sebelum dikeluarkannya penetapan perlindungan dari pengadilan. Sementara itu PP
adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan
kepada korban (Pasal 1 angka 6).
Dalam kasus Arumi,
Unit PPA Polda Metro Jaya yang menerima laporan, semestinya langusung
memberikan perlindungan sementara dalam waktu 1 x 24 jam sejak Arumi melaporkan
ibunya (Pasal 16 ayat 1 UU PKDRT) dan kemudian paling lama 1 x 24 jam Polda
Metro Jaya harus mengajukan permohonan PP kepada pengadilan. Dengan demikian Arumi
tidak perlu mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setelah
dikeluarkannya penetapan PP dari PN Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya langsung
melakukan perlindungan kepada Arumi, yang teknisnya bisa saja bekerjasama
dengan LPSK atau pihak tertentu namun tanggung jawabnya tetap berada pada Polda
Metro Jaya.
Pemohon
PP
Permohonan PP bisa diajukan oleh korban atau keluarga
korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, pembimbing rohani (Pasal
29 UU PKDRT), atau orang yang diberi kuasa oleh korban untuk melaporkan. Namun
jika korban dan/ atau keluarganya berada dalam ancaman yang membahayakan jiwa,
hakim bisa saja memberikan menetapkan PP meskipun korban tidak memintanya.
Dalam kasus Arumi, permohonan perlindungan diajukan
oleh korban (Arumi) dan kuasa hukumnya. Jika saja Polda Metro Jaya menjalankan
kewajibannya memberikan perlindungan sementara (Pasal 16 ayat 1) setelah Arumi
melaporkan KDRT yang dialminya, maka Polda Metro Jayalah yang mengajukan
permohonan PP.
Waktu
dan Tempat Mengajukan Permohonan PP
Permohonan PP
dapat diajukan setiap waktu dan sesuai kebutuhan korban. Jika korban memilih
untuk tidak meneruskan laporan di kepolisian atas kasus KDRT-nya, maka korban
tetap bisa mengajukan permohonan penetapan PP dari pengadilan. Sementara itu pengadilan
yang menerima permohonan PP, tidak dapat
menolak dikeluarkannya Surat Penetapan PP atas dasar selang atau jarak waktu
antara tindakan kekerasan dan pengajuan permohonan.
Sebagai konsekuensi
ketentuan Pasal 26 UU PKDRT yang memungkinkan korban KDRT melaporkan kepada (1)
kepolisian setempat dimana korban berada maupun (2) kepolisian setempat di
tempat kejadian perkara (TKP), maka tempat mengajukan permohonan PP juga bisa
diajukan ke pengadilan diamana korban berada ataupun di TKP. Karena PP menyangkut
pelaku KDRT, maka bisa juga diajukan ke pengadilan dimana pelaku KDRT bertempat
berada.
Subjek yang Dilindungi dan Masa
Perlindungan
Selain korban
sendiri yang mendapatkan perlindungan, Isteri atau suami, mantan isteri atau
suami, anak, orang tua, pekerja rumah tangga,
dan anggota keluarga lainnya
serta pasangan yang hidup bersama dengan pelaku yang diakui sebagai suami
isteri oleh agama/ keyakinan, masyarakat dan/ atau adat setempat juga bisa
mendapatkan perlindungan termasuk harta bendanya.
Sementara
itu PP dapat diberikan paling singkat 30 hari dan paling lama 1 (satu) tahun
dan dapat diperpanjang tujuh hari sebelum berakhir masa berlakunya perlindungan
(Pasal 32 UU PKDRT). Jika perpanjangan PP diajukan ketika/ setelah berakhirya
masa perlindungan, maka pemohon dapat mengajukan permohonan PP seperti pertama
kali mengajukan permohonan.
Jika
terjadi pelanggaran atas PP yang dilakukan oleh pelaku KDRT misalnya melakukan
intimidasi atau mengulangi perbuatannya, maka PP dapat diperbaharui. Sehingga
masa berlakunya perlindungan dikembalikan/ dihitung seperti semula. Misalnya
masa perlindungan sudah dilalui selama 7 hari, maka masa yang sudah dilalui
tersebut dianggap belum dilalui/ dihitung dari awal kembali.
Bagaimana PP diajukan?
Permohonan
kepada pengadilan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan. Jika
permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri wajib mencatat
permohonan tersebut. Permohonan PP jika diajukan oleh keluarga, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka harus memperoleh
persetujuan korban kecuali dalam keadaan tertentu (korban dalam pingsan, koma,
terancam jiwanya, depresi, disekap/ disandera oleh Pelaku dll)
Surat permohonan
PP memuat identitas pemohon dan pelaku, permohonan untuk merahasiakan alamat
pemohon jika penyebutan alamat akan membahayakan Pemohon, uraian tentang hubungan
antara pemohon dan pelaku, kronologi KDRT yang dialaminya, hal-hal yang
dimintakan PP misalnya korban sendiri, anak, saudara dan harta bendanya. Dalam
surat permohonan juga dapat diajukan permohonan untuk di dampingi oleh penasehat/pendamping serta alasannya.
Pelanggaran atas PP
Bagaimana jika PP dilanggar? Misalnya pelaku KDRT
mengintimidasi korban, atau melakukan KDRT kembali? Untuk memberikan
perlindungan kepada korban KDRT, maka aparat kepolisian dapat menangkap pelaku
KDRT yang diyakini telah melanggar PP meskipun tanpa surat perintah
penangkapan. Selanjutnya kepolisian dapat melakuakan penahanan yang disertai
surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
(Pasal 35-46 UU PKDRT).
Untuk memberikan rasa aman bagi korban yang
mendapatkan perlindungan dengan mekanisme PP, maka korban sendiri, kepolisian,
relawan pendamping atau pemohon PP dapat mengajukan laporan kepada pengadilan
atau kepolisian setempat secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran
terhadap PP (Pasal 37 ayat (1))
Sebagai
konsekuensi ketentuan Pasal 26 UU PKDRT yang memungkinkan korban KDRT
melaporkan kepada (1) kepolisian setempat dimana korban berada maupun (2)
kepolisian setempat di tempat kejadian perkara (TKP) dan ketentuan Pasal 37
ayat (3) yang menyatakan bahwa pemeriksaan atas dugaan pelanggaran atas PP,
maka apabila laporan dugaan pelanggaran terhadap PP tersebut diajukan di
kepolisian atau pengadilan diluar wilayah pengadilan di tempat pelaku pernah
tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi, maka kepolisian atau pengadilan yang menerima
laporan tersebut dalam jangka waktu 1x24 jam wajib meneruskan ke pengadilan
dimana pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu pelanggaran diduga
terjadi.
Selanjutnya
setelah pengadilan sebagaimana disebutkan di atas, maka pelaku diperintahkan
menghadap dalam waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan
pemeriksaan (Pasal 37 ayat (2) UU PKDRT).
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah
melanggar PP dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang
isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Namun jika pelaku
tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut maka, pengadilan dengan surat penetapan pengadilan dapat
memerintahkan kepolisian agar melakukan penahanan atas pelaku KDRT paling lama
30 hari (Pasal 38 UU PKDRT).
*) Abdul Hamim Jauzie; Tulisan ini pernah
dimuat di Koran Radar Banten 18 Juni 2011, dengan Judul “Perlindungan dalam KDRT”
0 Response to "Perintah Perlindungan dalam KDRT"
Posting Komentar