Pengajuan PK Berulang Kali Bisa Timbulkan Ketidakpastian Hukum
Sat, 08/03/2014 - 07:59 WIB
RIMANEWS - Anggota Panja RKUHAP Harry Witjaksono meminta agar dalam RKUHAP perlu pengaturan tentang proses pengajuan PK. Putusan MK bukan tidak mungkin nanti menjadi pembahasan mendalam dalam rangka penyusunan RKUHAP antara DPR dan pemerintah.
“Itulah sebaiknya kita menata dan membuat suatu proses hukum acara pidana yang baru. Sekarang malah MK membuat norma baru terhadap ketentuan hukum acara pidana,” ujarnya, Jumat (7/3).
Harry mengatakan, pengajuan PK berulang kali bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia berpandangan dari sisi keadilan hukum, putusan MK memberikan ruang bagi pencari keadilan memperoleh keadilan, sekalipun putusan di tingkat kasasi sudah final.
Namun, Harry khawatir terhadap terpidana kejahatan narkotika yang telah divonis hukuman mati masih dapat mengajukan PK. Itu sebabnya, perlu pengaturan persyaratan pengajuan PK agar menimbulkan kepastian hukum.
“Dari kepastian hukum, putusan MK tidak bisa menimbulkan kepastian hukum,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Sementara itu, ditempat terpisah LBH Keadilan menilai Putusan MK tersebut diketok untuk menggapai keadilan bagi seorang terpidana yang telah menemukan bukti baru (novum). Bagi LBH Keadilan, putusan tersebut tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Ketua Pengurus LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie, mengatakan PK merupakan upaya hukum luar biasa yang tidak bisa menunda eksekusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.
“Jadi, jika ada putusan kasasi atas kasus tertentu, bisa langsung dieksekusi. Namun demikian, LBH Keadilan berpendapat penggunaan pasal tersebut jangan digeneralisasi. Harus ada pengecualian. Jadi dalam kasus tertentu PK dimungkinkan dapat menunda eksekusi,” ujarnya.
Menurut Abdul, praktik PK lebih dari sekali sudah pernah dilakukan Mahkamah Agung antara lain dalam Kasus Mochtar Pakpahan dan Pollycarpus. Bagi LBH Keadilan, sambung Abdul, di tengah kondisi demoralisasi penegakan hukum, PK berkali-kali sangat relevan.
“Bisa dibayangan jika ada satu rekayasa kasus, yang kemudian seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati dan tidak bisa mengajukan PK yang kedua, ketiga dan seterusnya. Padahal telah ada bukti baru yang ditemukan. Sungguh telah merampas rasa keadilan seorang terpidana,” katanya. (IM/RM)
RIMANEWS - Anggota Panja RKUHAP Harry Witjaksono meminta agar dalam RKUHAP perlu pengaturan tentang proses pengajuan PK. Putusan MK bukan tidak mungkin nanti menjadi pembahasan mendalam dalam rangka penyusunan RKUHAP antara DPR dan pemerintah.
“Itulah sebaiknya kita menata dan membuat suatu proses hukum acara pidana yang baru. Sekarang malah MK membuat norma baru terhadap ketentuan hukum acara pidana,” ujarnya, Jumat (7/3).
Harry mengatakan, pengajuan PK berulang kali bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia berpandangan dari sisi keadilan hukum, putusan MK memberikan ruang bagi pencari keadilan memperoleh keadilan, sekalipun putusan di tingkat kasasi sudah final.
Namun, Harry khawatir terhadap terpidana kejahatan narkotika yang telah divonis hukuman mati masih dapat mengajukan PK. Itu sebabnya, perlu pengaturan persyaratan pengajuan PK agar menimbulkan kepastian hukum.
“Dari kepastian hukum, putusan MK tidak bisa menimbulkan kepastian hukum,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Sementara itu, ditempat terpisah LBH Keadilan menilai Putusan MK tersebut diketok untuk menggapai keadilan bagi seorang terpidana yang telah menemukan bukti baru (novum). Bagi LBH Keadilan, putusan tersebut tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Ketua Pengurus LBH Keadilan, Abdul Hamim Jauzie, mengatakan PK merupakan upaya hukum luar biasa yang tidak bisa menunda eksekusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.
“Jadi, jika ada putusan kasasi atas kasus tertentu, bisa langsung dieksekusi. Namun demikian, LBH Keadilan berpendapat penggunaan pasal tersebut jangan digeneralisasi. Harus ada pengecualian. Jadi dalam kasus tertentu PK dimungkinkan dapat menunda eksekusi,” ujarnya.
Menurut Abdul, praktik PK lebih dari sekali sudah pernah dilakukan Mahkamah Agung antara lain dalam Kasus Mochtar Pakpahan dan Pollycarpus. Bagi LBH Keadilan, sambung Abdul, di tengah kondisi demoralisasi penegakan hukum, PK berkali-kali sangat relevan.
“Bisa dibayangan jika ada satu rekayasa kasus, yang kemudian seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati dan tidak bisa mengajukan PK yang kedua, ketiga dan seterusnya. Padahal telah ada bukti baru yang ditemukan. Sungguh telah merampas rasa keadilan seorang terpidana,” katanya. (IM/RM)
0 Response to "Pengajuan PK Berulang Kali Bisa Timbulkan Ketidakpastian Hukum"
Posting Komentar