Paralegal atau Parabegal?

Foto bersama usai diskusi
Disaksikan oleh Andy Wiyanto, Peneliti LBH Keadilan, ruangan yang tidak lebih besar dari lapangan sepak bola itu dipenuhi senyum lebar, beberapa juga bercampur heran. Setelah salah seorang Paralegal bertanya, kenapa di LBHnya si anu Paralegal dapat uang transport, tapi kok di LBHnya saya tidak dapat. Pertanyaan itu lalu dijawab oleh Mbak Ami (panggilan akrab Siti Aminah, salah satu narasumber) yang garis besarnya karena ada prinsip kesukarelaan dalam bantuan hukum.

Itulah hal unik dari Diskusi Publik Diseminasi Hasil Penelitian yang diselenggarakan oleh The Indonesian Legal Resources Center (ILRC) pada Rabu (15/5) di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat. Penelitian tentang Persepsi Masyarakat Pencari Keadilan tentang Peran Paralegal dalam Pemenuhan Akses Keadilan melalui Hak Bantuan Hukum itu mengundang 47 Lembaga Bantuan Hukum dan lembaga terkait.

Mbak Ami dalam laporan penelitian yang diberi judul nyentrik “Paralegal Bukan Parabegal”, menyatakan bahwa 74% responden tidak mengetahui apa itu paralegal. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor mulai dari kebijakan paralegal yang masih baru hingga kurangnya sosialisasi istilah paralegal. Hal ini linear dengan pertanyaan kuisioner lain, bahwa mayoritas responden ketika berhadapan dengan masalah hukum lebih memilih untuk meminta bantuan kepada Ketua RT/RW atau kepada perangkat kampung/desa/adat untuk responden yang berasal dari perdesaan.

Namun demikian, responden yang pernah mendapatkan layanan bantuan hukum dari paralegal, menyatakan bahwa mereka memiliki tingkat kepuasan tinggi atas layanan yang telah diberikan paralegal. Dalam layanan itu, mereka jadi mengetahui hak-haknya, mereka dibantu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dan mereka mudah memahami saran yang diberikan. Bagi meraka, layanan yang paling bermanfaat adalah penyadaran hak (41%), nasihat individual (27%), bantuan hukum (17%), dan penyelesaian sengketa alternatif (15%).

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kebutuhan hukum masyarakat terhadap pemenuhan akses keadilan melalui hak bantuan hukum, utamanya meliputi hukum keluarga, masalah pertanahan, hukum pidana, dokumen kependudukan, dan hukum perburuhan.

Hal unik lain dalam diskusi ini adalah adanya istilah “parabegal” di masyarakat untuk merujuk pada paralegal yang melakukan pemerasan kepada para pencari keadilan atau untuk mencari keuntungan dari kasus hukum yang ada di dalam masyarakat. Munculnya istilah ini menjadi kekhawatiran peran dan fungsi paralegal yang tidak terkontrol, khususnya di wilayah-wilayah perdesaan yang akan kontraproduktif dengan tujuan awal pengakuan paralegal sebagai pemberi bantuan hukum.

Terlebih, jika dilihat dari definisinya, paralegal berarti “seseorang yang bukan advokat, namun memiliki pengetahuan dibidang hukum, baik hukum materil maupun hukum acara, dengan pengawasan atau organisasi bantuan hukum, yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal bisa bekerja sendiri di komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum”.

Untuk itu dalam rekomendasinya, para peneliti yang memandu jalannya diskusi memaparkan bahwa kebutuhan hukum masyarakat pencari keadilan, dapat dipenuhi paralegal dengan mendapatkan kembali peningkatan kapasitas untuk masalah-masalah hukum yang lebih spesifik. Selain itu, penyediaan informasi hukum berbasiskan teknologi harus mudah dan sederhana untuk dapat dibagi dalam platform media sosial dan perpesanan, audio visual dan yang mampu menjawab masalah-masalah keseharian dengan dasar hukumnya. (AW)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Paralegal atau Parabegal?"

Posting Komentar